Minggu, 23 Januari 2011

Biologi dan Ekologi Pemutihan Karang (Coral Bleaching)

1. Gejala Pemutihan Karang

Coral bleaching (pemutihan karang) sendiri dapat diartikan sebagai hilangnya warna karang yang disebabkan oleh degradasi populasi Symbiodinium (zooxanthellae simbiotik) dan/atau pigmen alga tersebut (Douglas, 2003). Peristiwa pemutihan pada skala laboratorium maupun lapangan menunjukkan gejala yang sama yaitu berkurangnya kepadatan Symbiodinium. Pada pemutihan yang tampak dengan mata (secara visual), densitas alga diperkirakan mengalami penurunan hingga 70 – 90% (Fitt et al., 2000). Lebih lanjut, pada studi di laboratorium, dijumpai adanya pengeluaran alga simbion dari tubuh inang; selain itu, inang juga diketahui terlepas dari kerangka kapurnya (Brown et al., 1995).

a & b: karang yang memutih seluruhnya; c & d: karang yang memutih sebagian koloninya (parsial); e & f: karang sehat (tidak mengalami pemutihan)
(dokumentasi pribadi)
 
 
Pemutihan karang telah terjadi di banyak terumbu di lautan dunia, terutama di kawasan tropis dan laut hangat misalnya di Karibia, teluk Arab, pesisir timur Afrika, Great Barrier Reef di Australia, Asia Tenggara dan kepulauan Pasifik.
 
Peristiwa pemutihan karang di berbagai perairan laut dunia: 1 – 10: Asia Selatan hingga Afrika Timur; 11 – 20: Asia Tenggara, Australia, Papua hingga Jepang; 21 – 27: kepulauan Pasifik hingga Pasifik timur; 28 – 35: laut Karibia hingga pesisir timur Amerika Selatan
(diadaptasi dari Baker et al., 2008)
 
 
2. Penyebab Pemutihan Karang
Pada skala penelitian di laboratorium, pemutihan karang dapat disebabkan oleh perlakuan suhu yang ekstrem dan tiba-tiba (baik suhu tinggi maupun rendah), radiasi yang tinggi, perlakuan gelap yang diperpanjang, logam berat (terutama tembaga dan kadmium) dan mikroorganisme patogenik (Douglas, 2003).
Peristiwa pemutihan yang terjadi secara missal di berbagai laut di dunia lebih disebabkan oleh hal-hal berikut;
  • Peningkatan suhu air laut. Faktor peningkatan suhu air laut seringkali diasosiasikan dengan pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan radiasi matahari dan efek rumah kaca. Seperti diketahui, karang termasuk fauna dengan toleransi suhu yang rendah. Peningkatan suhu sebesar 10 – 1.50C diatas rata-rata diketahui sudah dapat memicu terjadinya pemutihan karang (Baker et al. 2008; Douglas 2003; Lesser 2004; Saptarini & Muzaki 2010).
  • Peningkatan permukaan air laut (sea level rise). Pemanasan global juga memicu terjadinya pencairan es di kutub yang menyebabkan peningkatan permukaan air laut. Selama ribuan tahun, permukaan air laut relatif stabil dan karang umumnya tumbuh pada kedalaman dangkal (zona fotik) sehingga peningkatan permukaan air laut dapat menyebabkan karang “tenggelam” ke area yang lebih dalam dan akibatnya lebih sedikit mendapatkan cahaya. Efek lain dari peningkatan permukaan air laut adalah peningkatan kekeruhan dan laju sedimentasi akibat erosi pantai (Buddemeier et al., 2004).
  • ENSO (El Nino Southern Oscillation). Saat terjadi El Nino, terjadi peningkatan suhu air laut di kawasan samudera Hindia dan Pasifik yang memicu terjadinya pemutihan karang secara massal. Pemutihan karang juga terjadi selama fase dingin ENSO (La Nina) pada area-area yang cenderung mengalami peningkatan suhu (Buddemeier et al., 2004).
  • Polusi kronis. Polusi (organik, logam berat dan lain-lain) yang diakibatkan kegiatan antropogenik berpotensi menurunkan kualitas air laut yang dapat menyebabkan kematian karang (Douglas, 2003).
  • Mikroorganisme pathogen, misalnya Vibrio shiloi dapat menyebabkan kematian karang Oculina patagonica (Banin et al 2001 dalam Douglas 2003).
  • Perubahan sirkulasi arus laut. Hampir semua terumbu karang di latitude tinggi (>350) tumbuh pada area dimana arus membawa air hangat dari kawasan tropis. Perubahan alur dan kekuatan arus menyebabkan perbedaan suhu yang dapat mengakibatkan pemutihan karang (Buddemeier et al., 2004)
  • Presipitasi dan pola badai. Presipitasi di kawasan tropis diketahui mengalami peningkatan sebesar 0.2 – 0.3% per dekade. Frekuensi hujan juga meningkat hingga 90 – 99% pada beberapa kawasan tropis. Peningkatan presipitasi dapat menurunkan salinitas air laut, sementara peningkatan frekuensi hujan mengakibatkan peningkatan kekeruhan dan sedimentasi terutama di daerah sekitar muara (Buddemeier et al., 2004).

3. Proses Pemutihan Karang

Informasi mengenai mekanisme terjadinya pemutihan karang tidak terlalu diketahui, namun terdapat beberapa fragmen informasi yang terpisah antara lain sebagai berikut;
  1. Penurunan konsentrasi dan kerusakan protein D1 pada pusat reaksi fotosistem II pada sel Symbiodinium; selain itu juga terdapat gangguan pada siklus Calvin. Dua faktor tersebut dianggap berkontribusi terhadap mekanisme pemutihan yang terjadi akibat peningkatan penyinaran dan suhu air laut.
  2. Penghambatan fotosintesis pada Symbiodinium sebagai bentuk respon terhadap racun yang dihasilkan oleh pathogen Vibrio shiloi (Banin et al. 1998 dalam Douglas, 2003).
  3. Perubahan pola seluler pada fosforilasi protein yang memicu gejala pelepasan sel hewan (Sawyer & Muscatine 2001 dalam Douglas, 2003). 
  4. Elemen-elemen nekrosis dan jalur kematian sel yang terpogram yang akhirnya memicu terjadinya lisis (Dunn et al 2002 dalam Douglas, 2003).
Fenomena-fenomena tersebut diatas seringkali tidak terjadi sendiri-sendiri namun berlangsung secara simultan. Mekanisme pemutihan biasanya tergantung pada faktor penyebab, dalam artian bahwa mekanisme pemutihan biasanya tidak identik untuk faktor pemicu yang berbeda. Sebagai contoh, perlakuan gelap yang diperpanjang menyebabkan pemutihan namun tidak merusak fotosistem II pada Symbiodinium (Douglas, 2003).
 
 
4. Variasi Kerentanan (Susceptibility) terhadap Pemutihan
 
 Berbagai pengamatan terhadap peristiwa pemutihan karang menunjukkan bahwa terdapat variasi interspesifik dan intraspesifik dalam derajat pemutihan pada suatu lokasi (Douglas, 2003). Kerentanan terhadap pemutihan dapat berbeda antara karang yang sama di lokasi yang berbeda atau karang yang berbeda pada lokasi yang sama atau bahkan karang yang sama pada kedalaman yang berbeda. Sebagai contoh, pada beberapa karang, bentuk karang bercabang seperti spesies Acropora dan Pocillopora lebih rentan terhadap pemutihan daripada bentuk karang masif (McClanahan et al., 2001). 
Penelitian oleh Saptarini & Muzaki (2010) juga menunjukkan adanya variasi kerentanan terhadap pemutihan pada kedalaman yang berbeda. Pada perairan dangkal (3 meter), semua bentuk pertumbuhan karang rentan mengalami pemutihan sedangkan pada kedalaman 10 meter, bentuk Acropora dan karang jamur (mushroom coral) masih rentan mengalami pemutihan.
Penentu variasi kerentanan terhadap pemutihan dapat dilihat dari dua perspektif yaitu ekologi molekuler Symbiodinium dan ekofisiologi karang. Genus Symbiodinium memiliki variasi molekuler pada tingkat ribosomal RNA (rRNA) yang tercakup dalam dua clade yaitu filotipe A dan filotipe B – F (Rowan, 1998). Filotipe A, B dan C termasuk yang kosmopolit dan terdistribusi secara luas di Atlantik dan Indo-Pasifik, meskipun ribotipe C biasanya tidak terdapat pada daerah latitude tinggi (>35 – 400). Variasi genetik pada kerentanan terhadap pemutihan ditunjukkan melalui penelitian oleh Rowan et al (1997) pada karang Montastrea annularis dan M. faveolata di pesisir Karibia, Panama. Spesies-spesies tersebut memiliki ribotipe A, B dan C. Karang yang mengandung ribotipe B dan C (B mendominasi, >80% sel alga) tidak menunjukkan gejala pemutihan secara visual saat peningkatan suhu tahun 1995 sedangkan karang yang memiliki ribotipe C dominan (level C >35%) menunjukkan gejala pemutihan. Dari fenomena tersebut tampaknya ribotipe C memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap pemutihan,akan tetapi basis biokimia dalam variasi genetis Symbiodinium saat ini masih belum diketahui (Douglas, 2003). 
 
 
 5. Efek Pemutihan Karang
a. Efek jangka pendek 
  • Asosiasi karang. Pemutihan dan kematian karang dapat berimbas pada berbagai biota yang berasosiasi dengan karang tersebut. Jenis-jenis crustacea (misalnya Trapezia) yang bersimbiosis obligat dengan karang akan mati beberapa hari setelah karang memutih atau mati, terutama disebabkan karena suplai makanan (terutama mukus, detritus dan mikroorganisme) menjadi berkurang atau tidak lagi tersedia (Glynn et al 1985 dalamet al 2008). Sejumlah besar simbion obligat dan parasit pada karang Pocillopora dan Acropora seperti cacing pipih, protozoa, copepod dan sebagainnya akan mati saat terjadi pemutihan karang inangnya.   Baker
  • Pertumbuhan jaringan dan kerangka kapur. Bleaching dapat diartikan sebagai hilangnya warna pada karang yang disebabkan oleh hilangnya alga simbion (zooxanthellae) dari dalam tubuh karang (Douglas, 2003). Zooxanthellae menyuplai sekitar 95% produk fotosintesisnya (berupa asam amino, gula, karbohidrat, dan peptida-peptida pendek) kepada polip inang yang menggunakan nutrisi tersebut untuk respirasi, pertumbuhan, dan penimbunan CaCO3 (Lesser, 2004). Oleh karena itu, hilangnya zooxanthellae dari polip karang akan berdampak pada penurunan kemampuan karang untuk bermetabolisme. Lebih lanjut, hal tersebut akan berdampak pada laju pertumbuhan jaringan dan kerangka kapur karang.
  • Penyakit. Karang yang memutih akan lebih rentan terhadap pertumbuhan alga yang berlebihan dan penyakit (Westmacott et al., 2000). Penyakit karang diketahui berhubungan dengan pemutihan dan/atau tekanan panas; saat karang memutih atau mengalami tekanan suhu, bakteri dapat meningkatkan kemampuan virulensi dan resistansi terhadap antibiotik. Coles & Seapy (1998) dalam Baker et al (2008) melaporkan bahwa di pulau Fahl di Oman, karang yang terpapar suhu tinggi dapat mengalami tumor.  
  • Kematian karang. Kematian karang akibat pemutihan bervariasi tergantung pada taksa yang mengalami pemutihan. Pada koloni yang besar, pemutihan biasanya terjadi secara parsial dan bagian koloni yang tidak mengalami pemutihan akan tetap hidup. Secara umum, kematian karang akibat pemutihan biasanya terjadi dalam skala kecil, dimana tidak semua koloni karang yang memutih akan mati (Harriot 1985 dalam Baker et al 2008) dan hampir semua karang dapat pulih setelah memutih (Gates 1990 dalam Baker et al 2008). Akan tetapi pada beberapa kasus, pemutihan seringkali diikuti oleh kematian missal koloni karang dalam skala yang luas, seperti yang terjadi di pulau-pulau di Pasifik timur, Galapagos (Glynn et al 1985 dalam Baker et al 2008) dan teluk Arab (Riegl 1999 dalam Baker et al 2008).
 
b. Efek jangka panjang 
  • Reproduksi dan rekrutmen karang. Karang yang mampu pulih dari pemutihan umumnya tidak mengalami masalah reproduktif. Akan tetapi beberapa kasus menunjukkan bahwa koloni karang yang berhasil pulih seringkali mengalami penurunan kemampuan reproduksi, misalnya karang Montastrea annularis di Karibia yang mengalami pemutihan tahun 1987 – 1988, dimana karang tersebut gagal menyelesaikan fase gametogenesis saat masa reproduksi (Szmant & Gassman 1990 dalam Baker et al 2008). Sebagian besar karang tabulate dan foliose di pulau Heron (Australia) juga mengalami gangguan reproduksi berupa penurunan polip fertil dan jumlah telur per polip setelah mengalami pemutihan pada tahun 1998 (Ward et al 2000 dalam Baker et al 2008). Di Jepang, karang Acropora gagal mengalami fertilisasi setelah memutih tahun 1998. Hal tersebut diduga disebabkan oleh penurunan motilitas sperma karang sebagai akibat berkurangnya energi yang disebabkan oleh hilangnya zooxanthellae saat karang mengalami pemutihan (Omori et al 2001 dalam Baker et al 2008).
  • Perubahan komunitas alga simbion. Pemutihan karang dapat terjadi pada keseluruhan koloni atau parsial. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan distribusi dan/atau zonasi Symbiodinium pada karang. Karena simbion yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda terhadap tekanan lingkungan, distribusi keanekaragaman simbion di dalam dan antar koloni atau spesies dapat mempengaruhi pola pemutihan dan perubahan komunitas simbion setelah terjadinya pemutihan. Sebagai contoh, Symbiodinium dalam clade D memiliki resistansi tinggi terhadap peningkatan suhu dan akan tetap berada dalam polip inang saat Symbiodinium clade lain menurun jumlahnya atau hilang sama sekali dari tubuh inang. Saat karang pulih dari pemutihan, Symbiodinium clade D akan terdistribusi ke seluruh bagian koloni dan menggantikan peran Symbiodinium clade-clade lainnya (Baker et al., 2008).
  • Efek terhadap fauna corallivore (pemakan karang). Struktur komunitas terumbu karang dapat terpengaruh oleh perubahan kelimpahan dan diversitas fauna asosiasi saat terjadi pemutihan. Di Panama, setelah pemutihan pada 1982 – 1983, terjadi peningkatan mortalitas gastropoda Jenneria yang merupakan pemangsa polip karang namun tidak terjadi peningkatan mortalitas bintang laut duri Acanthaster plancii dan ikan Arothron meleagris yang juga merupakan predator karang. Perbedaan kemampuan survival biota-biota corallivore tersebut disebabkan oleh penurunan kelimpahan mangsanya (Glynn 1985 dalam Baker et al 2008). 
  • Efek terhadap ikan karang. Kematian karang akibat pemutihan juga dapat mempengaruhi struktur komunitas ikan karang. Beberapa spesies ikan corallivore obligat dari famili Gobiidae, Pomacentridae, Monacanthidae dan Chaetodontidae akan mati atau mengalami penurunan populasi pada beberapa minggu setelah terjadinya kematian karang. hal tersebut disebabkan karena berkurangnya karang yang menjadi mangsanya. Hal sebaliknya terjadi pada ikan-ikan herbivore (misalnya Siganidae) yang mengalami peningkatan populasi setelah terjadi pemutihan, yang mana diduga disebabkan oleh melimpahnya alga yang melakukan kolonisasi pada rangka karang yang mati (Baker et al., 2008).
  • Bioerosi. Pada konteks ini, bioerosi didefinisikan sebagai perombakan rangka kapur karang pembentuk terumbu. Bioerosi dapat disebabkan oleh berbagai organisme endolithic borers seperti alga, spons, cacing polychaeta, mollusca dan crustacea atau oleh biota epibenthic metazoa seperti mollusca, echinodermata dan ikan. Studi oleh Glynn (1988) menunjukkan peningkatan laju bioerosi pada terumbu karang di Galapagos. Bulu babi Eucidaris galapagensis menyebabkan bioerosi sebesar 70 – 80% dari total erosi sebesar 34 kg m-2y-1 pada karang Pocillopora dan 90% dari erosi sebesar 25 kg m-2y-1 pada karang Porites (Baker et al., 2008). Tabel 2.1 berikut menunjukkan rata-rata bioerosi setelah masa El-Nino 1982 – 1983 di Pasifik timur.
 
 Rata-rata Bioerosi Setelah Masa El-Nino 1982 – 1983 di Pasifik Timur
(Baker et al., 2008)
 
 
Referensi
 
Baker, A.C., P.W. Glynn and B. Riegl. 2008. Climate Change and Coral Reef Bleaching: An Ecological Assessment of Long-term Impact, Recovery Trends and Future Outlook. Estuary, Coastal and Shelf Sciences 80: 435 – 471.
Brown, B.E., M.D.A. Le Tessier and J.C. Bythell. 1995. “Mechanism of Bleaching Deduced from Histological Studies on Reef Corals Sampled During a Natural Bleaching Event”. Marine Biology 122: 655 – 663.
Buddemeier, R.W., J.A. Kleypas and R.B. Aronson. 2004. Coral Reefs and Global Climate Change: Potential Contributions of Climate Change to Stresses on Coral Reef Ecosystems. Pew Center on Global Climate Change.
Douglas, A.E. 2003. “Coral Bleaching – How and Why?” Marine Pollution Bulletin 46: 385 – 392.
Fitt, W.K., F.K. McFarland, M.E. Warner and G.C. Chilcoat. 2000. “Seasonal Patterns of Tissue Biomass and Densities of Symbiotic Dinoflagellates in Reef Corals and Relation to Coral Bleaching”. Limnology and Oceanography 45: 677 – 685.
McClanahan, T.R., N.A. Muttinge and S. Mangi. 2001. “Coral and Algal Changes after the 1998 Coral Bleaching: Interactions with Reef Management and Herbivores in Kenyan Reefs”. Coral Reefs 19: 380 – 391.
Manzello, D.P., R. Berkelmans and J.C. Hendee. 2007. Coral Bleaching Indices and Thresholds for the Florida Reef Tract, Bahamas and St. Croix, US Virgin Islands. Marine Pollution Bulletin 54: 19231931.
Obura, D.O. 2005. “Resilience and Climate Changes: Lessons from Coral Reefs and Bleaching in the Western Indian Ocean”. Estuarine, Coastal and Shelf Sciences 63: 353 – 372.
Rowan, R., N. Knowlton, A. Baker and J. Jara. 1997. “Landscape Ecology of Algal Symbionts Creates Variations in Episodes of Coral Bleaching”. Nature 388: 256 – 269.
Rowan, R. 1998. “Diversity and Ecology of Zooxanthellae on Coral Reefs”. Journal of Phycology 24: 407 – 417.
Saptarini, D dan F.K. Muzaki. 2010. “Kajian Jenis dan Bentuk Pertumbuhan Karang yang Rentan Mengalami Pemutihan di Perairan Selat Madura, Jawa Timur”. Prosiding Seminar JIWECC.
Westmacott, S., K. Teleki, S. Wells dan J. West. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. Terjemahan oleh J.H Steffen. Cambridge, UK: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 
 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger