Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat kompleks dengan keanekaragaman hayati tinggi (Medrizam et al., 2004) dan memiliki banyak fungsi ekologis maupun ekonomis. Fungsi ekologis terumbu karang adalah sebagai bentang alam penahan gelombang bagi kawasan pesisir serta menjadi habitat bagi berbagai macam biota laut. Secara ekonomis, terumbu karang menyediakan barang dan jasa bagi jutaan penduduk lokal di daerah pesisir, termasuk dalam nilai tersebut adalah makanan, pendapatan dari perikanan, nilai ilmu pengetahuan, farmasi, dan pendidikan (Burke et al., 2002).
Dibalik kompleksitas dan keanekaragaman hayati yang dimiliki, terumbu karang merupakan ekosistem yang rentan terhadap gangguan dan ancaman (Medrizam et al., 2004), baik gangguan alami seperti gelombang, tsunami, dan pemutihan karang (coral bleaching) (Westmacott et al., 2000) maupun gangguan akibat faktor anthropogenic (akibat aktivitas manusia) seperti pembangunan wilayah pesisir, pencemaran organik dan logam berat serta berbagai kegiatan tak berkelanjutan lainnya (Supriharyono 2000; Burke et al. 2002).
Logam berat tembaga (Cu) merupakan salah satu polutan di perairan laut yang berasal dari berbagai buangan industri, limbah rumah tangga atau pertanian dan cat antifouling (Mitchelmore et al., 2007). Dalam konsentrasi yang sangat rendah, Cu menjadi logam esensial bagi organisme namun dalam konsentrasi yang lebih tinggi dapat bersifat toksik bagi organisme laut (Ringwood 1992 dalam Victor & Richmond 2005) termasuk pada hewan karang.
Paparan karang terhadap Cu dalam konsentrasi dan periode tertentu dapat memberikan efek negatif pada metabolisme (Alutoin et al. 2001; Bielmyer et al. 2010), proses kalsifikasi kerangka kapur, pertumbuhan (Bielmyer et al., 2010), bahkan proses reproduksi (Negri & Heyward 2001; Reichelt-Brushett & Harrison 1999; Reichelt-Brushett & Michalek-Wagner 2005; Victor & Richmond 2005) dan penempelan (settlement) karang (Negri & Heyward, 2001).
A. LOGAM TEMBAGA (Cu)
1. Terminologi Tembaga (Cu)
Tembaga dengan nama kimia cuprum dilambangkan dengan Cu. Dalam tabel periodik unsur-unsur kimia, Cu menempati golongan 11 dengan nomor atom (NA) 29 dan bobot atom (BA) 63.546.
(www.webmineral.com)
Unsur logam ini berbentuk kristal berwarna kemerah-merahan karena adanya lapisan tipis tarnish yang teroksidasi saat terkena udara.
2. Karakteristik Tembaga (Cu)
Secara kimia, senyawa-senyawa yang dibentuk oleh Cu memiliki bilangan valensi +1 dan +2. Cu yang memiliki valensi +1 sering disebut cuppro sedangkan yang bervalensi +2 sering dinamakan cuppry. Kedua jenis ion Cu tersebut dapat membentuk kompleksi-kompleksi yang sangat stabil, misalnya Cu(NH3)6.Logam Cu dan beberapa bentuk persenyawaannya seperti CuCO3, CuO, Cu(OH)2 dan Cu(CN)2 tidak dapat larut dalam air sehingga harus dilarutkan dalam asam. Cu juga bereaksi dengan larutan yang mengandung sulfida atau hidrogen sulfida.
3. Tembaga pada Organisme
Logam Cu merupakan logam esensial, dalam artian bahwa Cu diperlukan oleh organisme dalam konsentrasi yang sangat rendah (Duffus, 1980; Palar, 2004). Tubuh manusia secara normal mengandung 1.4 – 2.1 mg Cu per kilogram berat badan. Cu terdistribusi terutama dalam hati, otot dan tulang. Transpor Cu dalam darah dilakukan oleh plasma protein yang disebut ceruloplasmin. Metabolisme dan ekskresi Cu juga dibantu oleh ceruloplasmin yang mentranspor Cu kedalam hati untuk disekresikan melalui empedu yang pada akhirnya dikeluarkan bersama feses.
Pada manusia, Cu tergolong dalam kelompok metalloenzim. Logam Cu diperlukan untuk sistem oksidatif seperti askorbat iksidase, sistikrom C oksidase, polifenol oksidase, amino oksidase dan sebagainya. Cu juga diperlukan dalam bentuk Cu-protein yang memiliki fungsi tertentu seperti pembentukan hemoglobin, kolagen, pembuluh darah dan myelin otak.
4. Aplikasi Tembaga
Logam Cu termasuk penghantar panas yang sangat baik dan merupakan penghantar listrik terbaik setelah perak (Argentum/Ag). Oleh karena itu, Cu banyak digunakan dalam bidang elektronika atau kelistrikan. Dalam bidang kelistrikan dan elektronika, Cu digunakan sebagai kabel tembaga, elektromagnet, papan sirkuit, solder bebas timbal, magnetron dalam oven microwave, tabung vacuum, motor elektromagnet dan sebagainya. Pemanfaatan Cu lainnya misalnya adalah sebagai pelapis antifouling pada kapal atau bangunan laut, peralatan memasak, koin (uang logam) dan campuran larutan Fehling.
5. Tembaga di Lingkungan Perairan Laut
Unsur tembaga (Cu) di alam dapat ditemukan dalam bentuk logam bebas, akan tetapi lebih banyak ditemukan dalam bentuk senyawa atau senyawa padat dalam bentuk mineral. Pada perairan laut, Cu dapat dijumpai dalam bentuk ion CuCO3+, CuOH+ dan sebagainya.
Secara alamiah, Cu masuk kedalam badan perairan sebagai akibat dari erosi atau pengikisan batuan mineral dan melalui persenyawaan Cu di atmosfer yang terbawa oleh air hujan. Aktifitas antropogenik seperti buangan industri, penambangan Cu, industri galangan kapal dan berbagai aktivitas pelabuhan lainnya merupakan salah satu jalur yang mempercepat peningkatan konsentrasi Cu di perairan laut (Palar, 2004).
Selain kegiatan antropogenik diatas, Cu yang terdapat pada air laut dapat berasal dari komponen herbisida dan fungisida yang diaplikasikan pada pertanian di kawasan pesisir (Cremlyn 1979 dalam Reichelt-Brushett & Harrison 1999) atau komponen dari bahan cat antifouling yang digunakan sebagai pelapis kapal (Selinger 1989 dalam Reichelt-Brushett & Harrison 1999) atau bangunan pantai lainnya.
Konsentrasi Cu pada perairan yang relatif belum tercemar berkisar antara 0.01 µg/L – 0.03 µg/L (Sadiq 1992 dalam Victor & Richmond 2005) sedangkan pada perairan laut yang tercemar berat, konsentrasi Cu dapat mencapai 30 µg/L (Sadiq 1992 dalam Mitchelmore et al. 2007) bahkan 50 µg/L (Chester 1990 dalam Mitchelmore et al. 2007).
B. CEKAMAN TEMBAGA (Cu) PADA KARANG
Logam yang terlarut dalam air laut mungkin menjadi rute pengambilan (uptake) logam berat secara langsung dan nyata pada hewan Cnidaria. Jalur uptake lain meliputi aktivitas makan, terutama melalui penangkapan zooplankton yang telah terpapar logam berat (Howard & Brown 1984 dalam Alutoin et al. 2001). Respon karang terhadap paparan Cu seringkali bersifat spesifik untuk tiap jenis karang.
1. Efek Kontaminasi Cu pada Metabolisme Karang dan Zooxanthellae
Efek negatif kontaminasi logam berat pada karang tergantung pada pengambilan (uptake) dan pembagian (partitioning) logam tersebut didalam tubuh karang (Mitchelmore et al., 2007). Logam berat yang terakumulasi pada kerangka kapur karang menyebabkan rangka kapur menjadi rapuh dan lebih sensitif terhadap tekanan fisik (Howard & Brown 1984 dalam Alutoin et al. 2001). Akan tetapi, alga simbiotik dalam endoderm karang memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap logam berat dan diduga menjadi tempat penimbunan logam berat pada karang.
Logam Cu diduga memberikan efek langsung terhadap metabolisme karang, yaitu pada proses respirasi dan fotosistesis zooxanthellae didalam endodermis karang. Pada konsentrasi rendah (<30 µg/L), Cu diketahui tidak memberikan efek negatif terhadap laju respirasi karang Acropora formosa (Jones, 1997) atau Porites lutea (Alutoin et al., 2001). Pada karang A. formosa, penurunan laju respirasi baru akan tejadi bila karang terpapar Cu pada konsentrasi yang lebih tinggi (40 – 80 µg/L) (Jones, 1997).
Bertolak belakang dengan efek pada laju respirasi, Cu memberikan pengaruh negatif pada proses fotosintesis zooxanthellae. Karang P. lutea yang terpapar Cu konsentrasi 30 µg/L mengalami penurunan produktivitas primer (konsentrasi klorofil a) zooxanthellae (Alutoin et al., 2001). Pemaparan karang A. formosa selama 48 dan 24 jam pada Cu dengan konsentrasi 20 µg/L dan 40 µg/L menyebabkan penurunan jumlah zooxanthellae dan pada konsentrasi 40 µg/L, semua karang akan mati setelah pemaparan selama 48 jam (Bielmyer et al., 2010).
Zooxanthellae diketahui mengakumulasi logam berat lebih tinggi daripada inangnya (Peters et al. 1997 dalam Bielmyer et al. 2010). Pelepasan (expulsion) zooxanthellae dari endodermis inang merupakan respon yang umum terhadap paparan logam berat pada karang dan diduga merupakan salah satu mekanisme untuk mengontrol konsentrasi dan detoksifikasi logam berat pada hewan simbiotik (Peters et al. 1997 dalam Bielmyer et al. 2010). Logam Cu secara langsung berdampak pada proses fotosintesis melalui penghambatan transpor elektron sisi oksidasi pada fotosistem II (Samson et al. 1988 dalam Alutoin et al. 2001).
Kontaminasi logam Cu pada karang juga menyebabkan penurunan aktivitas enzim carbonic anhydrase (CA), yang mana berimbas pada kurangnya CO2 untuk fotosintesis zooxanthellae. Hal tersebut terdeteksi pada karang A. cervicornis yang terpapar Cu 10 µg/L dan 20 µg/L serta Montastrea faveolata yang terpapar Cu 20 µg/L (Bielmyer et al., 2010). CA tidak hanya mengontrol respirasi serta pertukaran HCO3- dan CO2 tetapi juga memfasilitasi pembentukan CO3- melalui pengubahan CO2 menjadi HCO3- (Bielmyer et al., 2010).
Efek negatif Cu terhadap metabolisme karang seperti yang dideskripsikan diatas, juga berimbas pada laju pertumbuhan karang; dimana laju pertumbuhan karang A. cervicornis akan menurun setelah terpapar Cu pada konsentrasi 20 µg/L. Laju pertumbuhan karang Pocillopora damicornis juga mengalami penurunan setelah terpapar Cu dengan konsentrasi rendah (4 µg/L) (Bielmyer et al., 2010).
2. Efek Kontaminasi Cu pada Fertilisasi Karang
Polutan di lingkungan dapat berdampak pada semua tahap hidup organisme, akan tetapi organisme laut pada tahap awal hidup seringkali lebih rentan terhadap tekanan polutan daripada organisme dewasa (Reichelt-Brushett & Harrison, 1999). Oleh karena itu, mendeteksi polutan pada keberhasilan fertilisasi merupakan hal yang penting dalam studi manajemen terumbu karang (Reichelt-Brushett & Michalek-Wagner, 2005).
Dalam penelitiannya, Reichelt-Brushett & Harrison (1999) menunjukkan bahwa pada konsentrasi diatas 20 µg/L, Cu menurunkan persentase keberhasilan fertilisasi karang Goniastrea aspera hingga <50% sedangkan pada konsentrasi 200 µg/L bahkan menurunkan keberhasilan fertilisasi hingga <1%; dengan nilai EC50 untuk karang Goniastrea aspera adalah 14.5 µg/L (gambar 1.b).
Hasil yang serupa ditunjukkan oleh penelitian Victor & Richmond (2005) terhadap karang Acropora surculosa (gambar 1.a). Keberhasilan fertilisasi menurun hingga <20% dan <10% pada konsentrasi Cu 100 µg/L dan 200 µg/L. lebih lanjut, paparan tehadap Cu selama 12 jam memiliki dampak negatif yang besar terhadap kesintasan larva hasil fertilisasi. Pada konsentrasi Cu 12 µg/L, <45% larva yang hidup sedangkan pada konsentrasi 30 µg/L dan 58 µg/L, larva yang tetap hidup <20% dan 10%.
Pada karang Lobophytum compactum, diperlukan konsentrasi Cu yang sangat tinggi (>500 µg/L) untuk menurunkan persentase keberhasilan fertilisasi hingga <50% dengan nilai EC50 sebesar 261 µg/L (gambar 1.c) (Reichelt-Brushett & Michalek-Wagner, 2005). Pada karang Acropora millepora, diperlukan konsentrasi Cu sebesar 17.4±1.1 µg/L untuk menurunkan persentase keberhasilan fertilisasi hingga <50% (Negri & Heyward, 2001) (gambar 1.d).
3. Efek Kontaminasi Cu pada Metamorfosis dan Penempelan (Settlement) Larva Karang
Efek negatif Cu terhadap metamorfosis terjadi pada konsentrasi >110±20 µg/L, yang mana menghambat 50% metamorfosis larva. Penghambatan ini terjadi saat larva planula karang akan bermetamorfosis menjadi polip juvenil untuk selanjutnya melakukan penempelan pada substrat (Negri & Heyward, 2001).
Reichelt-Brushett & Harrison (2000) melakukan penelitian mengenai efek negatif Cu terhadap penempelan larva karang Acropora tenuis pada tahun 1994 dan 1996. Hasilnya, pada konsentrasi 20 µg/L, Cu memberikan efek inhibisi (menghambat) penempelan larva karang. Konsentrasi Cu sebesar 42 µg/L menurunkan persentase penempelan larva karang hingga <15% dan pada konsentrasi >80 µg/L, tidak ada larva yang dapat melakukan penempelan pada substrat.
REFERENSI
Alutoin, S., J. Boberg, M. Nyström & M. Tedergren. 2001. “Effects of the Multiple Stressors Copper and Reduced Salinity on the Metabolism of the Hermatypic Coral Porites lutea”. Marine Environmental Research 52: 289 – 299.
Byelmyer, G.K., M. Grosell, R. Bhagooli, A.C. Baker, C. Langdon, P. Gillette & T.R. Capo. 2010. “Differential Effects of Copper on Three Species of Scleractinian Corals and Their Algal Symbionts (Symbiodinium spp.)”. Aquatic Toxicology 97: 125 – 133.
Duffus, J.J. 1980. Environmental Toxicology. London: Edward Arnold (Publishers) Ltd..
Mitchelmore, C.L., E.A. Verde. & V.M. Weis. 2007. “Uptake and Partitioning of Copper and Cadmium in the Coral Pocillopora damicornis”. Aquatic Toxicology 85: 48 – 56.
Negri, A.P. & A.J. Heyward. 2001. “Inhibition of Coral Fertilization and Larval Metamorphosis by Tributilin and Copper”. Marine Environmental Research 51: 17 – 27.
Palar, Heryando. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Reichelt-Brushett, A.J. & K. Michalek-Wagner. 2005. “Effect of Copper on the Fertilization Success of the Soft Coral Lobophytum compactum”. Aquatic Toxicology 74: 280 – 284.
Reichelt-Brushett, A.J. & P.L. Harrison. 1999. “The Effect of Copper, Zinc and Cadmium on Fertilization Success of Gametes from Scleractinian Reef Corals”. Marine Pollution Bulletin 38 (3): 182 – 187.
Reichelt-Brushett, A.J. & P.L. Harrison. 2000. “The Effect of Copper on the Settlement Success of Larvae from Scleractinian Corals Acropora tenuis”. Marine Pollution Bulletin 41 (7/12): 385 – 391.
0 comments:
Posting Komentar